Sejarah Perkembangan Ilmu Falconry
![]() |
Elang Hitam |
Falconry di Indonesia ini merupakan salah
satu olahraga yang tergolong unik karena menggunakan hewan sebagai sarana.
Namun sedikit sekali peminat olahraga falconry di Indonesia karena pengaruh
globalisasi dan seiring perkembangan zaman orang-orang mulai cenderung memilih
hobi-hobi yang berhubungan dengan teknologi. Selain itu lahan yang dibutuhkan
olahraga ini juga cukup luas dan susahnya merawat burung-burung yang akan kita
jadikan partner merupakan suatu kendala untuk kebanyakan orang yang sibuk dan
menganggap olahraga ini sebagai hobi yang kuno dan merepotkan. Falconry atau hawking (dari Bahasa Inggris, artinya "perburuan
dengan memakai elang") adalah jenis olahraga yang memanfaatkan falcon (jenis elang atau alap-alap) atau hawk (rajawali) dalam suatu aktivitas berburu. Orang yang memptaktikkan falconry
dinamakan falconer ,
biasanya menempuh perjalanan dengan berjalan kaki, menunggang kuda atau unta
baik sendirian maupun rombongan, dengan membawa burung elang yang bertengger di
lengan mereka. Olahraga ini menuntut
kesabaran dan ketekunan dalam melatih burung. Burung harus dapat dijinakkan
atau "dimanusiakan" dan diajari untuk melakukan berbagai macam hal
seperti terbang kembali ke tangan sang majikan atau berburu di ladang perburuan. Dalam merawat mereka juga harus
dibedakan dengan hewan-hewan lain, karena mereka merupakan makhluk yang
berbasis binatang liar yang juga harus menggunakan standar binatang liar yang
berarti mereka harus dilatih sebagaimana mereka diperlakukan di alam. Pada tahun 2010, salah satu olahraga
tertua di dunia ini didaftarkan ke dalam Daftar Representatif Budaya
Takbenda Warisan Manusia UNESCO oleh banyak negara, antara lain Republik Korea, Uni Emirat Arab, Belgia, Republik Ceko, Perancis,Mongolia, Maroko, Qatar, Arab Saudi, Spanyol dan Suriah. Di Arab, olahraga elang
ini telah menjadi identitas nasional bangsa,
bahkan Uni Emirat Arab dan Arab Saudi mengeluarkan paspor khusus bagi
pegiat falconry.
Burung elang adalah salah satu predator terbaik
yang mampu menangkap mangsanya dengan cara eksotis, terbang melayang lalu
tiba-tiba menukik dengan kecepatan tinggi, menyambar secepat kilat hewan malang
di atas tanah maupun di permukaan air. Kemampuan inilah yang kemudian
dieskploitasi manusia untuk mengembangkan seni berburu unik. Yordania,
Pakistan, Rusia, dan Turkmenistan adalah tempat favorit para falconer. Mereka
berburu burung gagak, kelinci, rubah, serigala, burung kuau, atau burung
houbara (sejenis burung besar yang tidak dapat terbang). Ketika melihat hewan
buruan, burung pemangsa para falconer akan terbang menuju hewan buruan,
menukik, dan mencengkeram hewan buruan dengan cakarnya dan membawanya pada
falconer.
Sejarah
Falconry di Dunia
![]() |
Peregrine Falcon, elang paling populer sekaligus binatang tercepat di dunia |
![]() |
Gyrfalcon, elang para raja |
Kaisar Romawi Suci Frederick II
dari Hohenstaufen pernah menulis sebuah buku tentang falconry yang berjudul Ars
Venandi cum Avibus (Seni Berburu dengan Burung) pada 1241. Frederick tampaknya
menulis buku tersebut setelah membaca risalah falconry yang lebih dulu muncul
dari dunia Arab, yaitu Kitab Dawari al-Tayr (Buku Tentang Burung Pemangsa) yang
ditulis oleh al-Ghitrif bin Qudamah al-Ghassani, pemburu ahli pada zaman
Dinasti Umayyah pada 780 Masehi.
Sejarah
Falconry di Indonesia
Elang, seperti banyak spesies
burung lainnya, melewati Jazirah Arab saat melakukan migrasi tahunan dari
Afrika menuju Asia. Dahulu kala, suku Badui mengambil keuntungan dari keadaan
itu dengan memanfaatkan elang sebagai alat berburu untuk menyediakan daging
bagi keluarga mereka selama musim dingin. Mereka menjebak sejumlah elang
muda dengan menggunakan perangkap pada saat burung-burung tersebut bermigrasi,
untuk kemudian dilatih menjadi pemburu andal. Selain untuk memenuhi kebutuhan
pangan, ekspedisi berburu menggunakan elang digunakan para pemimpin suku untuk
bisa memantau situasi terbaru di wilayah mereka.
Falconry
di Indonesia(sekarang)
![]() |
burung hantu juga bisa dimasukan dalama kategori falconry |
Di indonesia ada
beberapa kelompok-kelompok yang berminat dalam olahraga falconry ini, mereka
tidak hanya berburu dengan partner mereka juga melakukan program-program yang
ditujukan untuk melestarikan spesies-spesies burung predator di indonesia ini.
Seperti membuat tempat penangkaran, maupun merawat burung tersebut secara
perorangan dan kemudian dilepaskan ke alam bebas. Salah satu kelompok yang
terkenal dalam bidang falconry adalah Raptor Club Indonesia (RCI) yang
didirikan oleh Lim Wen Sin dan
dua rekannya, Josafat Agung Sulistyo (Jose), bendahara dan Trainner RCI, serta
Ignasius Kendal. Raptor
Club Indonesia (RCI) merupakan organisasi beranggotakan para penggemar burung
pemangsa yang ikut prihatin pada nasib burung pemangsa di tanah air. Adapun
sekretariat RCI, di Jalan Kaliurang km 5, Gg.Pangkur no 2 Jogjakarta.
Organisasi ini dibentuk dikarenakan jumlah burung predator di Indonesia yang
semakin hari semakin berkurang karena keteledoran manusia dalam menjaga
kelestarian alam. Mereka beranggapan bahwa semua burung pemangsa di Indonesia
ini dilindungi. Karena status burung pemangsa ini milik negara. apabila ada seratus orang yang melakukan pemeliharaan
burung pemangsa, maka lama-kelamaan raptor di Indonesia ini akan punah.
Pemanfaatan Falconry di Indonesia
Di Indonesia, terutama fungsi falconry sebagai
metode penangkaran burung pemangsa. Hal ini mengingat banyaknya spesies
burung pemangsa di Indonesia yang sangat terancam punah. Semoga dengan adanya
penghargaan yang lebih terhadap burung pemangsa, mereka tidak akan cepat punah
karena faktor perburuan liar dan perusakan habitat. Yang perlu ditegaskan di
sini bukan hanya karena mereka sangat penting untuk falconry, tetapi lebih
mengacu pada fakta bahwa mereka adalah kunci keseimbangan suatu ekosistem,
sebagai peringkat satu di dalam suatu rantai makanan.
Penggunaan falconry pada zaman sekarang (secara
lebih detail):
1. Hunting/ pure falconry (Murni untuk berburu)
Kegiatan ini merupakan inti dari falconry dan bisa
dikatakan sebagai tujuan paling utama dari setiap falconer. Dengan menjadikan
burung pemangsa sebagai partner berburu, maka pemilihan burung pun tidak bisa
dilakukan dengan serta merta dan harus dilakukan dengan berbagai pertimbangan
antara lain, tipe lingkungan berburu, mangsa apa yang tersedia, dan lain-lain.
Setiap spesies burung pemangsa memiliki tipikal habitat dan cara berburu yang
berbeda, maka pilihan harus tepat dan sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan
di atas.
2. ex-situ Breeding (pengembangbiakan secara buatan)
Breeding atau pengembangbiakkan secara buatan ini
bertujuan untuk meregenerasi burung pemangsa dan tidak ada batasan spesies
burung yang akan dikembangbiakkan. Tetapi program ini lebih dikhususkan untuk
spesies burung pemangsa yang populasinya sangat terancam punah, dalam hal ini
salah satunya adalah Nisaetus bartelsi atau Javan Hawk Eagle/ Elang Jawa. Di
dalam program breeding ini, burung pemangsa yang telah terlatih merupakan modal
utama sebagai calon indukan. Dengan pelatihan yang telah diberikan,
burung-burung tersebut tidak lagi seliar sebelumnya sehingga bisa
dikembangbiakkan secara buatan. Target ke depannya, kegiatan falconry hanya akan
menggunakan burung pemangsa hasil dari breeding, bukan dari tangkapan dari
alam. Selain itu, akan dilakukan pelepasanliaran hasil breeding ke alam untuk
mendukung jumlah populasi mereka di alam, di samping adanya usaha untuk menjaga
habitat mereka supaya tetap kondusif untuk mereka berkembangbiak.
3. Rehab and Release Program (program rehabilitasi dan pelepasliaran)
![]() |
salah satu program release yang diadakan Raptor Club Indonesia |
Di dalam kegiatan ini, fungsi falconry adalah
sebagai metode yang dipergunakan untuk melakukan proses rehabilitasi burung
pemangsa liar yang kategorinya dapat dilepasliarkan kembali. Sehingga ketika
waktunya tiba, burung pemangsa tersebut dapat kembali hidup dan berkembang-biak
di alam.
4. Education (Edukasi)
Merupakan kegiatan yang melengkapi falconry, di mana
kegiatan edukasi terdiri dari pengenalan burung pemangsa kepada masyarakat,
demo terbang, dll. Dalam melakukan kegiatan ini sangat dibutuhkan burung yang
terlatih dan memiliki karakter yang baik sehingga masyarakat dapat melakukan
pengamatan secara lebih dekat. Mereka dapat mengenal burung pemangsa secara
lebih detail sehingga mereka lebih mengerti peran mereka di alam.
5. Pest control (Penggunaan falconry untuk pemberantasan hama)
Kegiatan falconry dapat juga digunakan untuk
melakukan pemberantasan hama karena falconry menggunakan asas alamiah. Sebagai
contohnya, kita bisa melakukan ‘airport patrol’ atau patroli bandara, di mana
di luar negri cara ini telah terbukti sangat efektif di dalam mengusir
burung-burung liar di sekitar landasan pacu pesawat. Burung-burung liar
tersebut sangatlah berbahaya jikalau terhisap masuk ke dalam mesin jet pesawat
karena dapat menyebabkan kecelakaan.
Konflik
Namun, dalam perkembangannya falconry mendapatkan
tekanan dan kecaman dari dari para aktivis perlindungan hewan internasional.
Selain itu, terdapat kontroversi apakah falconry merupakan olahraga atau seni. “Jika Anda menyebut falconry sebagai
seni, silakan atau sebagai olahraga, silakan. Tapi falconry lebih dari sekadar
itu,“ ujar Larry Dickerson, presiden Asosiasi Falconer Amerika Utara. Menurutnya,
jumlah falconer saat ini 65 ribu, terbesar ada di Timur Tengah Tengah, Cina,
dan Pakistan.
Olahraga falconry memang tak sepopuler dahulu
sebagai cara berburu.
Berburu dengan elang mulai ditinggalkan sejak ditemukannya senapan.
Padahal, ribuan tahun lalu elang menjadi favorit. Pada abad 14, Sultan Ottoman Bayazid menangkap putra Philip Bold, adipati Burgundy. Bayazid menolak 200 ribu dukat emas yang ditawarkan sebagai tebusan. Bayazid justru menginginkan tebusan yang lebih berharga, yaitu 12 elang gyr putih yang ditawarkan Carl VI dari Prancis. Saat ini, harga seekor elang gyr mencapai 10 ribu poundsterling atau Rp 140 juta.
Berburu dengan elang mulai ditinggalkan sejak ditemukannya senapan.
Padahal, ribuan tahun lalu elang menjadi favorit. Pada abad 14, Sultan Ottoman Bayazid menangkap putra Philip Bold, adipati Burgundy. Bayazid menolak 200 ribu dukat emas yang ditawarkan sebagai tebusan. Bayazid justru menginginkan tebusan yang lebih berharga, yaitu 12 elang gyr putih yang ditawarkan Carl VI dari Prancis. Saat ini, harga seekor elang gyr mencapai 10 ribu poundsterling atau Rp 140 juta.
Falconry Sekarang
![]() |
Elang Brontok |
Awalnya aktivitas ini dilakukan untuk mencari makanan, namun
saat ini telah banyak dilakukan sebagai ajang persahabatan dan kebersamaan. Falconry umumnya dipraktikkan di jalur terbang migrasi burung (flyway) atau pada sebuah
lapangan oleh orang dari segala umur, jenis
kelamin dan pekerjaan. Tradisi ini
mengembangkan hubungan yang kuat dan jalinan spiritual antara falconer dengan
burung mereka yang mana membutuhkan komitmen kuat untuk mengembangbiakkan,
melatih, memegang, dan menerbangkannya.Di banyak negara, falconry diwariskan
dari generasi ke generasi sebagai tradisi budaya, yang memberikan latihan atau ajaran
di dalam keluarga atau sebuah kelompok. Di Mongolia, Maroko, Qatar, Arab
Saudi dan Uni
Emirat Arab contohnya, para falconer mengajak anak-anak mereka ke
padang pasir dan mengajarkan mereka menangani burung dan membangun hubungan kepercayaan dengannya.Para pemilik
burung berasal dari latar belakang yang berbeda namun menjalin nilai-nilai
kebersamaan, tradisi dan praktik yang sama dalam metode melatih dan merawat
burung, menggunakan peralatan yang dibutuhkan, hal ini cukup sama di seluruh
dunia. Tradisi ini membentuk dasar
dari warisan kebudayaan dunia yang lebih luas, termasuk juga atribut-atribut
budaya seperti pakaian
tradisional, makanan, musik, lagu, puisi dan tarian yang didukung oleh komunitas dan kelompok yang
mempraktikkannya
Pada 2010, falconry didaftarkan dalam Warisan Budaya
Manusia Tak Benda UNESCO oleh banyak negara seperti Uni Emirat Arab, Maroko,
Qatar, Arab Saudi, Suriah, Belgia, Republik Ceska, Peancis, Mongolia, Spanyol,
dan Korea Selatan. Akhirnya, pada November 2010, falconry pun menjadi salah
satu warisan budaya tak benda yang diakui dunia. “Falconry memenuhi tiga persyaratan
sebagai warisan budaya tak benda,“ kata Katalin Bogyay, perwakilan dari
Konferensi Umum UNESCO.
Sementara itu, Terry Large, anggota Britain's Hawk
Board, mengatakan, pengakuan dari UNESCO tersebut membuat falconry menjadi
dikenal oleh publik. “Namun, di negara-negara Eropa, ada pembatasan apa yang
harus berburu oleh para falconer,“ ujarnya.
Saat ini, falconry mulai murni dipraktikkan sebagai
olahraga. Di UEA, burung elang dan houbara merupakan hasil penangkaran yang
dilepas ke alam liar setelah dilengkapi dengan sistem pelacak satelit untuk
memantau dan mempelajari pola migrasi serta perkembangbiakan mereka secara
alami. Selain terdapat banyak fasilitas penangkaran burung elang, UEA juga
merintis pendirian sejumlah rumah sakit spesialis burung elang yang dilengkapi
dengan teknologi modern terbaru yang memungkinkan melakukan prosedur pengobatan
rumit terhadap elang seperti anestesi penuh dan endoskopi untuk pembedahan. Di
berbagai negara sekarang ini falconry hanya dijadikan sebagai hobi oleh
beberapa orang yang menyukainya. Meskipun begitu beberapa suku-suku di
pedalaman di dunia masih menggunakan metode falconry sebagai sarana berburu dan
bertahan hidup mencari makanan.
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar